Rabu, 23 Februari 2022

Resisten


Resisten

By tundjung

"Dok, anak saya nggak bisa pakai sebarang antibiotik. Dia sudah banyak resisten."

Sang ortu menyerahkan sebuah lembaran fotokopi. Isinya tentang hasil kultur. Bakterinya bernama streptokokus bla bla bla (lali aku tuh). Si bakteri kebal terhadap belasan antibiotik. Tanggal kultur itu sudah setahun yang lalu.

"Dulu anaknya sakit apa, Pak?"

"Operasi hiscprung. Lalu sepsis."

Untuk saat ini anaknya demam dan diare. Ada muntah. Kondisi secara umum masih bagus. Dua hari tiga malam dirawat, Alhamdulillah kondisi membaik. Pulang.

Kalau ada yang tanya saya, lalu pakai antibiotik apa? (Padahal sapa juga yang tanyak)

Jawabnya: saya nggak pakai antibiotik. Lha diare pada anak kan umumnya karena virus, ngapain antibiotik.

Terus nih, kesalahan umum yang sering terjadi. Menganggap hasil kultur seperti vonis seumur hidup. Padahal hasil kultur di masa lalu itu adalah masa lalu. Kalau sakit lagi di kemudian hari, belum tentu karena bakteri yang resisten tadi. Bisa jadi karena sebab lain.

Nah, kenapa sih bakteri bisa resisten terhadap antibiotik?

Intinya karena kita mengenalkan antibiotik ke bakteri tidak pada tempatnya.

Misal, sakit karena virus atau alergi, tapi dikasih antibiotik.

Antibiotik harusnya dikasih selama 7 hari, tapi cuma sehari. Atau sebaliknya. Cukup sehari, tapi ini malah dipaparkan berhari-hari.

Atau antibiotik harusnya dikasih sesendok, ini cuma setetes.

Si bakteri yang kenalan dengan antibiotik dengan cara tidak pas, bukannya mati malah belajar.

"Oh, jadi begini cara antibiotik menyakitiku. Pake enzim anu. Oke kalau begitu. Aku harus segera membentuk pelindung. Antibiotik, kalau kamu datang lagi, kamu nggak akan bisa menyakitiku."

Begitulah kira-kira kisah hidup bakteri dan antibiotik.

Dan diam-diam saya iri pada bakteri. Dia relatif cepat beradaptasi agar tidak mudah disakiti.

Sedangkan saya?

Masih saja mudah sakit hati, oleh hal itu dan itu lagi. Jadi malu sama bakteri.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar